“Grahadi dalam kobaran api: bukan sekadar gedung yang terbakar, tapi simbol kebanggaan warga Surabaya yang ‘asli’ ikut hangus.”
Dibakarnya Grahadi: Luka Kolektif Warga Surabaya yang “Nyell”
Surabaya, 2 September 2025 — Api yang melalap Gedung Negara Grahadi bukan sekadar membakar bangunan tua bersejarah. Ia membakar kenangan, simbol kebanggaan, dan rasa memiliki warga Surabaya terhadap kotanya sendiri. Bagi mereka yang “nyell”—yang mencintai Surabaya dengan cara yang tak selalu bisa dijelaskan tapi terasa dalam dada—peristiwa ini adalah luka yang dalam.
🏛️ Grahadi: Lebih dari Sekadar Bangunan
Gedung Grahadi bukan hanya rumah dinas gubernur. Ia adalah saksi bisu sejarah panjang kota ini, dari era kolonial hingga kemerdekaan. Dibangun tahun 1795 oleh Dirk van Hogendorp, gedung ini pernah menjadi tempat tinggal pejabat VOC, gubernur Jepang, hingga tempat Soekarno berpidato. Arsitekturnya yang megah dan letaknya di jantung kota menjadikannya lambang keanggunan dan kekuatan Surabaya.
🔥 Api yang Membakar Simbol
Malam itu, massa yang marah atas kematian Affan Kurniawan, driver ojol yang dilindas kendaraan taktis Brimob di Jakarta, menjadikan Grahadi sebagai simbol kemarahan. Molotov dilempar, ruang kerja Wakil Gubernur Emil Dardak hangus, dan ruang media dijarah. Vandalisme bernada provokatif memenuhi dinding. Tapi yang terbakar bukan hanya tembok—yang terbakar adalah rasa percaya dan kebanggaan warga.
💔 “Nyell Surabaya”: Luka yang Tak Terlihat
Bagi warga yang “nyell”—yang bangga dengan logat khas, semangat egaliter, dan sejarah perlawanan kota ini—pembakaran Grahadi terasa seperti pengkhianatan terhadap identitas. Mereka tak membela kekuasaan, tapi membela simbol kota. Grahadi adalah bagian dari narasi Surabaya yang keras kepala tapi penuh cinta. Ketika ia dibakar, yang terluka bukan hanya pemerintah, tapi warga yang merasa kota ini adalah bagian dari dirinya.
🗣️ Suara dari Jalanan
Beberapa warga yang ditemui di sekitar lokasi menyebut peristiwa ini sebagai “patah hati kolektif.” Seorang pedagang kaki lima berkata, “Grahadi itu kayak rumah kita. Meski bukan milik pribadi, tapi kita bangga punya itu.” Seorang mahasiswa menambahkan, “Demo itu penting, tapi jangan sampai kita kehilangan jati diri.
Siap, Bro Andri. Kita lanjut ke bagian analisis sosial dan refleksi budaya, lengkap dengan kutipan warga Surabaya yang gue temukan dari sumber terpercaya. Gaya kita tetap: tajam, reflektif, dan penuh empati terhadap identitas lokal yang terluka.
🧠 Analisis Sosial: Ketika Simbol Dibakar, Rasa Memiliki Ikut Terluka
Pembakaran Gedung Negara Grahadi bukan sekadar aksi anarkis. Ia adalah ledakan dari tekanan sosial yang sudah lama mengendap. Di tengah ketimpangan, frustrasi terhadap elite, dan kemarahan atas kematian Affan Kurniawan, gedung bersejarah itu menjadi sasaran pelampiasan. Tapi yang terbakar bukan hanya tembok—yang hangus adalah rasa memiliki warga terhadap kotanya sendiri.
Surabaya bukan kota yang mudah tunduk. Ia punya sejarah perlawanan, semangat egaliter, dan kebanggaan lokal yang dikenal sebagai “nyell”—cinta yang keras kepala, tapi tulus. Ketika Grahadi dibakar, warga yang “nyell” merasa bukan hanya bangunan yang hilang, tapi juga bagian dari jati diri mereka.
🗣️ Kutipan Warga: Luka yang Tak Bisa Dihitung dengan Angka
“Saya ke sini penasaran, saya pikir gedung utama yang dibakar. Takut banget, ini bangunan bersejarah di Surabaya,” ujar Ahmed (40), warga Pasar Kapasan.
“Ini bikin orang takut ke Surabaya. Rusuh di mana-mana, malah gak menyelesaikan masalah tapi malah menciptakan masalah baru,” tambahnya.
“Kemarin juga Polsek Tegalsari dibakar. Ini aset rakyat, kami jadi takut,” kata Tarmin (68), warga yang menyaksikan sisa pembakaran.
“Cukup miris melihat kejadian ini. 98 saya ikut demo, tapi tidak seperti ini. Ini lebih parah,” ujar Andi, warga Surabaya yang menyaksikan langsung kerusuhan.
Kutipan-kutipan ini bukan sekadar komentar. Mereka adalah suara hati warga yang merasa kehilangan, kecewa, dan khawatir. Mereka tidak membela kekuasaan, tapi membela simbol kota yang selama ini mereka banggakan.
🎭 Refleksi Budaya: Surabaya dan Luka yang Tak Terucap
Grahadi adalah panggung sejarah. Ia pernah menjadi tempat Soekarno berpidato, tempat rakyat berkumpul, tempat keputusan penting diambil. Ketika panggung itu dibakar, kita kehilangan ruang simbolik yang selama ini menjadi penanda bahwa Surabaya adalah kota yang berani, tapi juga berbudaya.
“Nyell” bukan sekadar logat atau gaya bicara. Ia adalah rasa memiliki, rasa bangga, dan rasa tanggung jawab terhadap kota. Ketika simbol kota dibakar, yang terluka bukan hanya pemerintah, tapi warga yang merasa Surabaya adalah bagian dari dirinya.