Warta21.com – Indeks harga Saham Gabungan (IHSG) cenderung cerah pada pekan lalu, di mana IHSG melesat nyaris 1%, tepatnya 0,92% secara point-to-point (ptp).
Sedangkan pada perdagangan Jumat (9/6/2023), IHSG ditutup menguat 0,42% ke posisi 6.694,024. Nilai transaksi IHSG sepanjang pekan ini mencapai Rp 47,2 triliun.
Sementara itu untuk rupiah juga terpantau bergairah pada pekan ini, di mana mata uang Garuda mampu melesat 1% secara point-to-point dihadapan dolar Amerika Serikat (AS). Pada perdagangan Jumat akhir pekan ini, rupiah ditutup menguat 0,37% ke posisi Rp 14.835/US$.
Cerahnya IHSG pada pekan lalu terjadi setelah pemberlakuan batas auto reject bawah (ARB) yang sebelumnya sebesar 7% menjadi 15% mulai Senin awal pekan ini, di mana hal ini merupakan langkah bertahap untuk kembali normal batas auto reject secara simetris.
IHSG pun sempat bergerak volatil diperdagangan sepanjang pekan ini. Namun pada akhirnya, IHSG mampu ditutup di zona hijau. Hanya pada perdagangan Selasa pekan ini yang ditutup di zona merah.
Pada pekan ini, sentimen diwarnai dengan prediksi pasar yang memperkirakan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) tidak akan menaikkan suku bunga pada pekan depan. Hal ini terjadi setelah perekonomian Amerika Serikat menunjukkan tanda-tanda pelambatan.
Bank investasi AS, Goldman Sachs memproyeksikan ada probabilitas sebesar 25% AS akan mengalami resesi 12 bulan ke depan.
Eropa yang sudah mengalami resesi juga mempengaruhi pergerakan rupiah. Eurostat pada Kamis (8/6/2023) kemarin merevisi pertumbuhan ekonomi zona euro menjadi -0,1% quarter-to-quarter (qtq) pada kuartal I-2023. Pada kuartal sebelumnya, produk domestik bruto (PDB) juga tumbuh negatif, sehingga disebut mengalami resesi teknikal.
Resesi memang memberikan dampak yang buruk, tetapi dalam kondisi “perang” melawan inflasi yang tinggi, itu justru dinanti-nanti. Ketika terjadi resesi, maka aktivitas ekonomi menurun, pemutusan hubungan kerja (PHK) massal bisa terjadi, sehingga daya beli masyarakat menurun. Itu bisa membuat inflasi turun lebih cepat.
Hal ini lebih baik ketimbang menghadapi inflasi tinggi dalam waktu yang lama. Apalagi misalnya jika perekonomian masih kuat, bisa memicu wage-price spiral atau kenaikan harga yang mengarah pada kenaikan upah.
Sehingga, resesi kali ini justru bisa disambut baik oleh pelaku pasar, rupiah pun mendapat sentimen positif.
Pada pekan depan, beberapa bank sentral akan mengumumkan kebijakan suku bunga acuannya, di mana The Fed akan menjadi perhatian utama pelaku pasar global, mengingat pasar sudah memprediksi bahwa The Fed pada pertemuan kali ini akan mempertahankan suku bunga acuannya.
Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, pasar kini melihat ada probabilitas sebesar 70,1% The Fed akan mempertahankan suku bunga acuannya di 5% – 5,25%.
Pasar yang memprediksi The Fed akan mempertahankan suku bunganya karena perekonomian Negeri Paman Sam mulai mengalami perlambatan.
Goldman Sachs memproyeksikan ada probabilitas sebesar 25% AS akan mengalami resesi 12 bulan ke depan.
Selain itu, pasar juga akan memantau rilis data inflasi AS pada periode Mei 2023 yang akan dirilis pada Selasa malam waktu Indonesia.
Konsensus pasar dalam Trading Economics memperkirakan inflasi Negeri Paman Sam pada bulan lalu akan kembali turun menjadi 4,1% secara tahunan (year-on-year/yoy), dari sebelumnya pada April lalu sebesar 4,9%.
Sedangkan secara bulanan (month-to-month/mtm), inflasi AS diprediksi juga menurun menjadi 0,2%, dari sebelumnya pada April lalu sebesar 0,4%.
Jika resesi terjadi dan inflasi menurun, maka The Fed tentunya mulai mempertimbangkan untuk memangkas suku bunga acuannya.
Di lain sisi, Eropa yang sudah terkena resesi secara teknikal seharusnya menjadi pertimbangan untuk bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) untuk menghentikan sikap hawkish-nya di pertemuan berikutnya.
Sebelumnya, ekonomi Uni Eropa memasuki resesi pada kuartal I-2023. Ekonomi Benua Biru pada kuartal I-2023 terkontraksi 0,1% (quarter-to-quarter/qtq). Pelemahan ini menunjukkan tren negatif yang sudah berlangsung sejak kuarta IV-2022 di mana ekonomi terkontraksi 0,1%.
Dengan demikian, zona Uni Eropa yang menaungi 20 negara tersebut secara resmi mengalami resesi secara teknikal.
Namun, karena inflasi Eropa dinilai masih tinggi, maka pasar masih memperkirakan ECB masih akan menaikkan suku bunga acuannya pada pertemuan yang dilaksanakan pekan depan.
Konsensus pasar dalam Trading Economics memperkirakan ECB akan kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin menjadi 4% pada pertemuan pekan depan.
Sebagai catatan, ECB telah mengerek suku bunga sebesar 425 bp menjadi 3,75%. Secara tahunan (year-on-year/yoy), pertumbuhan ekonomi 1% pada kuartal I-2023, terendah dalam delapan kuartal terakhir.
Sebelumnya, inflasi Eropa pada Mei 2023 turun ke level 6,1% (yoy), lebih rendah dari inflasi April lalu yang sebesar 7% (yoy).
Berdasarkan laporan CNN Business, Jumat pekan lalu, angka tersebut menjadi level inflasi paling rendah di zona Eropa, sejak Rusia menginvasi Ukraina pada Februari 2022.
Resesi Uni Eropa tentu saja membawa dampak bagi dunia, termasuk Indonesia, mengingat besarnya peran Benua Biru dalam perdagangan dan keuangan global. Ukuran ekonomi Uni Eropa menembus US$ 16,6 triliun atau setara dengan seperenam Produk Domestik Bruto (PDB) global.
Share ekspor Uni Eropa ke perdagangan barang global mencapai 14,1%, sementara di sektor jasa mencapai 24,5%. Dengan size ekonomi dan peran besar Uni Eropa itulah resesi Eropa bisa memperlambat ekonomi dunia.
Selain inflasi AS, kebijakan suku bunga The Fed dan ECB serta dampak dari resesi teknikal Eropa, beberapa data ekonomi penting juga perlu dicermati oleh pelaku pasar, di mana salah satunya yakni rilis data PDB bulanan Inggris pada periode April 2023.
Konsensus Trading Economics memperkirakan PDB bulanan Inggris pada April lalu mencapai 0,2%, naik dari periode Maret lalu yang berkontraksi 0,3%.
Sebelumnya pada kuartal I-2023, ekonomi Inggris hanya tumbuh 0,1%. Angka ini juga sama seperti pada kuartal IV-2023 yang tumbuh 0,1%.
Selain Inggris, di kawasan Asia-Pasifik, beberapa data ekonomi dan agenda penting juga akan dirilis pada pekan depan seperti pengumuman kebijakan suku bunga terbaru bank sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ) yang hasilnya akan diumumkan pada Jumat pekan depan.
Konsensus Trading Economics memperkirakan BoJ masih akan mempertahankan kebijakan ultra-longgarnya pada pekan depan, di mana kebijakan ini sudah berlangsung sejak 2016 lalu.
Dari dalam negeri, sentimen yang perlu dicermati oleh pelaku pasar yakni terkait rilis data neraca perdagangan periode Mei 2023.
Konsensus pasar di Trading Economics memperkirakan neraca perdagangan RI pada Mei 2023 akan turun menjadi US$ 3,2 miliar, dari sebelumnya pada periode April lalu yang surplus US$ 3,94 miliar.
Sumber : cnbcindonesia.com
Baca Juga : Luhut Jajal KA Cepat: JKT-Bandung 300 Km/Jam, Kurang 1 Jam