Warta21.com – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendorong PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk terus meningkatkan efisiensi demi menekan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) pembangkit.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Rida Mulyana mengapresiasi berbagai upaya PLN dalam melakukan efisiensi. Kendati demikian, menurutnya masih ada ruang untuk efisiensi ke depannya yang harus dimaksimalkan oleh PLN. Dengan memaksimalkan efisiensi maka potensi BPP dapat kian ditekan.
“Semua berdasarkan tarif ya dan tarif itu berdasarkan dengan BPP dan di dalamnya ada beberapa belanja yang kami yakini PLN sudah banyak lakukan efisiensi. Tapi masih ada ruang untuk terus melakukan efisiensi,” kata Rida di Kantor Kementerian ESDM, Senin (13/6).
Rida mencontohkan, PLN telah berhasil meningkatkan penjualan listrik untuk kurun 2021. Upaya lainnya yang bisa dicoba yakni konversi pembangkit diesel ke pembangkit EBT.
Rida menilai perlu ada percepatan dalam upaya konversi ini. Dengan konversi ini maka tekanan pada APBN atas kenaikan harga minyak global yang terjadi dapat dikurangi.
Rida menjelaskan, saat ini Indonesia cukup beruntung pasalnya sistem pembangkit kelistrikan masih didominasi pembangkit batubara atau Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) . Apalagi, batubara yang digunakan untuk kebutuhan pembangkit dalam negeri harganya telah dipatok sebesar US$ 70 per ton.
“(Negara-negara Eropa) terdampak dari kenaikan harga karena tidak punya instrumen fiskal seperti di kita. Kita untuk menjaga inflasi itu ada instrumen itu Alhamdulillah,” imbuh Rida.
Menurutnya, saat ini Indonesia masih cukup terdampak atas kenaikan harga ICP yang terus terjadi. Pergerakan harga ICP bukan sesuatu yang dapat dikontrol seperti harga batubara untuk kebutuhan domestik.
Meski demikian, Rida menilai upaya mengurangi beban bauran pembangkit berbasis BBM sudah dilakukan PLN.
“Untungnya PLN sudah mengurangi bauran dari BBM kita tekan sekitar 4% dan itu memang masih bagian dari BPP,” terang Rida.
Rida mendorong agar konversi Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) ke EBT perlu dipercepat. Asal tahu saja, dalam asumsi APBN yang ditetapkan untuk tahun ini, harga ICP ditetapkan sebesar US$ 63 per barel. Dalam perjalanannya, harga ICP terus menanjak mendekati US$ 100 per barel.
Setiap kenaikan US$ 1 per barel untuk ICP diprediksi menambah beban BPP sebesar Rp 500 miliar. Jika kondisi ini berlanjut maka beban kompensasi yang harus ditanggung pemerintah untuk tahun 2022 mencapai Rp 65,9 triliun.