Warta21.com- Wiyung merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kota Surabaya. Tepatnya di kawasan Surabaya selatan. Dulunya, kawasan ini merupakan kawasan rawa yang saat ini berubah menjadi kawasan perumahan dan komersial.
Pemerhati sejarah Kota Surabaya Chrisyandi Tri Kartika mengatakan nama Wiyung disebut-sebut diambil dari nama Dewi dan Wuyung yang memiliki arti Dewi yang dicintai.
Ki Sukmo Jati (Mbah Jati) Jatuh Cinta Pada Dewi Sekar Arum (Mbah Melati)
“Dulu ada seorang pemuda bernama Ki Sukmo Jati atau lebih dikenal dengan sebutan Mbah Jati. Pemuda itu jatuh cinta pada seorang gadis cantik bernama Dewi Sekar Arum atau Mbah Melati,” ujarnya.
Namun kisah cinta keduanya tidak berjalan lancar karena ada orang ketiga yang tidak ingin hubungan mereka bersatu, Mbah Jati tidak bisa menikah dengan Dewi Sekar Arum karena sakit hingga akhirnya meninggal dunia.
“Karena sedih memikirkan Dewi, akhirnya Mbah Jati menamakan desa itu dengan nama Wiyung,” jelasnya.
Desa Wiyung termasuk juga desa menganti merupakan perbatasan antara kota Gresik dan kota Surabaya, termasuk pula daerah Karangpilang. Dahulu desa tersebut termasuk memiliki kontur tanah basah karena merupakan daerah bekas laut berlayar para pedagang cina ke kerajaan Singosari pada tahun 1280. Jelasnya, Desa Wiyung dan sekitarnya termasuk Karangpilang adalah daerah bekas laut.
Chrisyandi mengatakan di Wiyung terdapat Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Jemaat Wiyung yang memiliki awal perkembangan Kristenisasi di Jawa Timur.
“Di Wiyung ada makam tokoh pertama perkembangan Kristen di Surabaya dan Jawa Timur,” katanya.
Ia menjelaskan dalam buku berjudul Patunggilan Kang Nyawiji menyebutkan gambaran keadaan Desa Wiyung tahun 1851, saat Ds. J.F.G Brummund berkunjung kesana. Desa Wiyung ditempuh 2 jam perjalanan dengan kereta kuda dari kota Surabaya, terletak dalam distrik (kecamatan) Gunung Kendeng- Driya Surabaya. Sebuah desa besar dengan jumlah penduduk hampir 400 orang.
“Pada musim hujan seluruh kawasan desa Wiyung dipenuhi air dan terlihat seperti lautan terbuka, dimana Wiyung dan desa- desa lainnya timbul di bagian-bagian tempat yang agak tinggi, mirip seperti kepulauan. Untuk mencapai desa satu dengan yang lain orang menggunakan alat transportasi berupa perahu kano yang terbuat dari pohon kayu yang dilubangi. Pada musim kemarau air itu menyusut dan daerah itu menjadi agak kering dan mulai bisa ditanami padi. Selain bertani sebagian besar penduduk Wiyung bekerja sebagai pencari dan penjual rumput untuk makanan kuda,” terangnya.
Chrisyandi menambahkan di desa itu tinggal seseorang bernama Pak Dasimah, anak dari Kyai Rapati pendiri desa Wiyung yang kemudian diangkat menjadi Demang Desa. “Pak Dasimah, seorang Muslim tapi masih setia dengan agama asli Jawa. Ia tidak bisa membaca bahasa Arab tetapi bisa membaca tulisan huruf Jawa. Buku yang berjudul Yusuf (naskah tulis yang terkenal dalam bahasa Jawa) ternyata adalah buku yang ia senangi,” katanya.
Lebih lanjut Chrisyandi mengatakan menurut zendeling C Poensen, hingga tahun 1883 masyarakat Wiyung masih sering membicarakan Pak Dasimah, antara lain bahwa bisa membaca (macapat) dengan sangat bagus dan suaranya yang luar biasa merdu serta menyenangkan.
“la senang dan berupaya sedapat mungkin mengetahui sesuatu tentang Islam. Akan lebih menyenangkan jika ia dapat bergaul dengan orang yang mengenal pengajaran Islam, sehingga dapat belajar dari mereka, walaupun sebenarnya ia tidak begitu saja bisa menerima pengajaran itu bila penjelasannya tidak punya alasan yang mendasar,” katanya.
“Ia menjalankan kewajibannya sebagai modin (orang yang mengurus suatu pekerjaan yang bertalian dengan agama Islam di dusun/kampung) dengan setia. Melihat kedudukan/jabatan yang diemban pada masa hidupnya ia merupakan orang yang terpelajar dan pandai, bahkan orang Wiyung menganggapnya sebagai penasihat dan guru untuk mereka. la seorang yang ramah, ia senang menerima tamu di rumahnya dan menjamu mereka. la melakukan banyak perbuatan baik, ia sering kali mengatakan: “siapa berbuat baik, maka juga akan menerima kebaikan. Siapa menyatakan kemurahan hati, ia juga akan menerima kemurahan hati. Begitu juga seperti yang sering dikatakan orang Wiyung Jika Pak Dasimah memberi sesuatu kepada seseorang, itu diberikannya dengan tulus dan ikhlas, ia tidak bermaksud memanfaatkan orang-orang tersebut atau mencari keuntungan dari makanan dan minuman yang ia berikan. Oleh sebab itu, tidak aneh, jika orang Wiyung baik tua maupun muda menghormati dan mengasihi dia,” terangnya.
Chrisyandi mengatakan Pak Dasimah mempunyai seorang teman bernama Pak Midah, seorang Madura asli, yang bertempat tinggal di Surabaya di Kampung Giriq’an (Pegirian). Pekerjaannya sebagai mranggi.
Pada hari-hari tertentu pak Midah menjual warangka hasil karyanya dengan jalan menjajakannya ke pasar hewan di kota Surabaya dan ke desa-desa di sekitar Surabaya hingga sampai di Wiyung.
“Jika sampai di Wiyung ia selalu menginap di rumah Pak Dasimah, bahkan sampai beberapa hari, sehingga akhirnya menjadi sahabat baik Pak Dasimah,” katanya.
Pada suatu hari Pak Midah menjajakan dagangannya di Pasar Hewan Surabaya, di sana ia didatangi oleh perempuan/gadis Indo” kepadanya diberikan selembar kertas bertulisan huruf Jawa. Semula ia menolak tidak mau menerimanya karena ia tidak bisa membaca dan menulis, tetapi gadis itu agak memaksanya agar mau menerimanya dengan dorongan: “nanti berikan kepada orang yang bisa membacakannya”. Akhirnya Pak Midah menerima traktaatje itu dan memasukan ke dalam kantungnya.
Setelah dari pasar hewan kota Surabaya ia melanjutkan perjalanan sambil menjajakan dagangannya hingga sampai di desa Wiyung. Seperti biasanya sesampai di Wiyung ia selalu menginap di rumah Pak Dasimah. Kepada Pak Dasimah, diberikannya lembaran traktaatje yang diterima dari gadis Indo di pasar hewan Surabaya.
Pak Dasimah menerimanya lalu membacakannya. Rupanya Pak Dasimah tertarik dengan isi traktaatje yang dibacanya. Menurut Pak Dasimah isi tulisan itu harus diketahui maknanya oleh semua anggota kelompoknya, maka ia mengundang mereka kemudian membacakannya kepada semua yang hadir dan selanjutnya membahasnya bersama-sama.
Setelah beberapa lama Pak Midah menginap di Wiyung, kemudian ia pamit akan melanjutkan perjalanannya menjual dagangannya ke tempat lain. Tidak lama dari peristiwa pemberian lembar traktaatje itu, Pak Dasimah menerima kabar bahwa Pak Midah meninggal dunia (tentu saja masih sebagai orang Muslim).
Baca Juga: Kemenhub: ‘Surabaya Rugi Rp 12 Triliun Per-Tahun’, Mengapa?