Sosok sang profesor berseragam: dari ruang kuliah ke ruang komando, Dedi Prasetyo resmi jadi Wakapolri.
Melalui Surat Telegram Nomor: ST/1764/VIII/KEP./2025 tertanggal 5 Agustus 2025, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo resmi menunjuk Komjen Dedi Prasetyo sebagai Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Wakapolri). Ia menggantikan Komjen (Purn) Ahmad Dofiri yang pensiun akhir Juni lalu. Kursi kosong selama sebulan akhirnya terisi—dan bukan oleh sembarang jenderal.
Penunjukan ini bukan sekadar rotasi jabatan. Ini adalah pengangkatan simbolik atas seorang figur yang telah lama menjadi arsitek di balik layar Polri. Dedi bukan hanya polisi, ia adalah profesor, penulis 27 buku, dan langganan jabatan strategis di tubuh Bhayangkara.
Tertarik baca berita lainnya, kunjungi kami di googlenews
Dari Akabri ke Akademisi: Jejak Sang Profesor
Lahir di Magetan, Jawa Timur, pada 26 Juli 1968, Dedi Prasetyo adalah lulusan Akabri 1990—angkatan yang masih menyatukan TNI dan Polri dalam satu akademi. Kariernya dimulai dari bawah: Kaurbinopsnal Satreskrim Polres Lamongan, lalu Kapolsek Serpong di Polda Metro Jaya.
Namun, Dedi bukan tipikal jenderal yang hanya mengandalkan pangkat. Ia menempuh pendidikan tinggi hingga meraih gelar profesor dan doktor. Ia juga memecahkan rekor MURI sebagai perwira Polri dengan jumlah buku terbanyak. Di tengah hiruk-pikuk dunia kepolisian, Dedi menulis tentang meritokrasi, perdagangan manusia, dan reformasi SDM. Ironis? Justru relevan.
Baca Juga: Pemangkasan Pendidikan Akmil: Efisiensi atau Kebutuhan Strategi?
SDM, Humas, dan Dapur Polri
Sebelum menjadi Wakapolri, Dedi menjabat sebagai Irwasum Polri—posisi yang mengawasi perilaku internal dan rekrutmen anggota. Ia juga pernah menjadi Kadiv Humas, Asisten SDM, dan Kapolda Kalteng. Wajahnya familiar di layar kaca, suaranya akrab di ruang konferensi pers. Ia adalah jenderal yang bisa bicara dan berpikir.
Komisi III DPR menyambut penunjukan ini dengan harapan besar. Mereka ingin Wakapolri baru mampu menjaga stabilitas internal dan memperkuat reformasi institusi. Tapi tentu, harapan politik selalu datang dengan embel-embel: “asal tidak terlalu vokal.”
Baca Juga: Di Balik Seragam: Momen Haru Kelulusan Putra Ibnu Jamil dan Sorotan Publik yang Menyusul
Polisi yang Menulis, Bukan Hanya Menindak
Di tengah citra Polri yang sering digoyang isu integritas, muncul sosok Dedi Prasetyo—profesor berseragam yang lebih sering menulis daripada marah-marah di lapangan. Ia adalah antitesis dari stereotip jenderal keras kepala. Tapi apakah itu cukup?
Publik tentu berharap lebih dari sekadar gelar dan jabatan. Reformasi Polri bukan hanya soal rotasi, tapi soal rekonstruksi kepercayaan. Dan di sinilah tantangan Dedi dimulai: menjadi Wakapolri yang bukan hanya berpangkat, tapi berpengaruh.
https://lynk.id/warta21_/Q1b9xxp
Dari Magetan ke Mabes, Kini Saatnya Membuktikan
Komjen Dedi Prasetyo telah menempuh jalan panjang dari desa kecil di Jawa Timur ke pusat komando Polri. Ia punya gelar, pengalaman, dan reputasi. Tapi jabatan Wakapolri bukan panggung akademik—ini adalah arena politik, publik, dan institusi yang terus diuji.
Kini, publik menunggu: apakah sang profesor bisa menjadi penjaga moral di tubuh Polri, atau hanya menjadi penjaga kursi di ruang rapat?







