“Rumah megah Dwi Hartono di Kota Wisata, Cibubur, kini sepi. Sosok yang dulu dikenal sebagai motivator dan pengusaha sukses, kini jadi sorotan publik sebagai tersangka utama penculikan dan pembunuhan Kepala Cabang BRI Cempaka Putih.”

Jakarta, 29 Agustus 2025 — Nama Dwi Hartono (DH) kini menghiasi headline media nasional, bukan sebagai motivator sukses atau pengusaha digital, melainkan sebagai tersangka utama dalam kasus penculikan dan pembunuhan Mohamad Ilham Pradipta (MIP), Kepala Cabang Pembantu Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cempaka Putih.

Kasus ini bukan sekadar kriminal biasa. Ia menyimpan lapisan motif, manipulasi, dan ironi sosial yang menggelitik nurani publik. Berikut kronologi lengkap dan fakta-fakta yang terungkap.

Kronologi Awal: Rabu Kelabu di Pasar Rebo

Rabu sore, 20 Agustus 2025, Ilham Pradipta baru saja menyelesaikan rapat internal di kawasan Pasar Rebo, Jakarta Timur. Ia berjalan menuju mobil hitam miliknya yang terparkir di area supermarket Lotte Mart. Mengenakan kemeja cokelat dan celana krem, Ilham tampak santai, tak menyadari bahwa dua pria dari mobil putih di sebelahnya sedang bersiap menyergap.

Rekaman CCTV menunjukkan Ilham sempat melawan, namun kalah jumlah. Ia dipaksa masuk ke mobil pelaku dan dibawa kabur. Seorang warga sempat mencoba menolong, tapi mobil pelaku sudah melaju kencang meninggalkan lokasi.

Penemuan Jasad: Kamis Pagi yang Mencekam

Keesokan harinya, Kamis 21 Agustus 2025 pukul 05.30 WIB, warga Desa Nagasari, Bekasi, menemukan jasad pria di semak-semak persawahan. Tangan dan kaki korban terikat, mata dilakban, tubuh penuh luka lebam. Hasil autopsi menunjukkan adanya hantaman benda tumpul di dada dan leher, menyebabkan hipoksia atau kekurangan oksigen.

Korban teridentifikasi sebagai Mohamad Ilham Pradipta, 37 tahun, Kepala Cabang BRI Cempaka Putih. Kabar ini langsung mengguncang institusi perbankan dan memicu penyelidikan besar-besaran oleh Polda Metro Jaya.

Motif: Kredit Fiktif dan Dendam Bisnis

Polisi mengungkap bahwa DH diduga sakit hati setelah permohonan kredit fiktif senilai Rp13 miliar ditolak oleh Ilham. Penolakan itu memicu dendam yang berujung pada perencanaan penculikan dan pembunuhan.

DH disebut sebagai aktor intelektual bersama tiga tersangka lain: YJ, AA, dan C. Mereka menyewa empat eksekutor lapangan—AT, RS, RAH, dan RW—yang bertugas menculik dan mengeksekusi korban.

Profil Dwi Hartono: Dari Motivator ke Tersangka

Lahir di Lahat, Sumatera Selatan, 6 Oktober 1985, DH dikenal sebagai pengusaha multi-bisnis: dari warnet, warteg, hingga platform edukasi . Ia aktif di media sosial sebagai motivator, bahkan pernah tampil bersama Hotman Paris dalam program beasiswa.

Ironisnya, DH juga mengaku sebagai lulusan “S1 Pondokan”—gelar yang tidak jelas disiplin ilmunya, namun kerap digunakan untuk membungkus narasi religius dan otoritas moral. Dalam kasus ini, gelar tersebut tak mampu menutupi jejak digital dan rekam jejak kriminalnya: pada 2012, DH pernah dihukum enam bulan penjara karena pemalsuan ijazah.

Reaksi Publik dan Institusi

Universitas Gadjah Mada (UGM), tempat DH tercatat sebagai mahasiswa Magister Manajemen, langsung menonaktifkan status akademiknya dan menyatakan dukungan penuh terhadap proses hukum.

BRI pun menyampaikan duka mendalam atas kehilangan salah satu pimpinan cabangnya. “Kami percaya aparat akan menuntaskan kasus ini dengan adil,” ujar perwakilan manajemen BRI dalam konferensi pers.

Penangkapan dan Proses Hukum

Penangkapan DH dilakukan di Solo, Jawa Tengah, pada Sabtu malam, 23 Agustus 2025. Ia ditangkap tanpa perlawanan bersama YJ dan AA. Sehari kemudian, C ditangkap di Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara.

Sementara empat eksekutor ditangkap di lokasi berbeda: tiga di Johar Baru, Jakarta Pusat, dan satu di Bandara Internasional Komodo, Labuan Bajo, NTT.

Total 15 orang telah diamankan, dan polisi masih mendalami peran masing-masing pelaku. Kasus ini dipastikan akan menjadi salah satu sorotan utama dalam proses hukum nasional.

Refleksi: Ketika Da’wah Tanpa Sholihin Menjadi Bumerang

Kasus ini bukan hanya soal kriminal, tapi juga soal wajah ganda masyarakat: motivator yang ternyata manipulatif, gelar religius yang tak menjamin moral, dan bisnis edukasi yang berujung pada eksekusi.

“Semoga semua itu tidak menjadi adzab yang pulang kampung—mengetuk pintu rumah sang Imam, lengkap dengan salam dari karma dan amplop evaluasi dari langit.”

 

Artikulli paraprakSurabaya Memanas: Ribuan Buruh Long March ke Gedung Grahadi, Tuntut Upah Layak dan Tegur Tunjangan DPR
Artikulli tjetërGolkar, PAN, dan NasDem Kompak Nonaktifkan Anggota DPR yang Bikin Marah Publik

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini