“Ketika bukti tak sempat diputar, emosi jadi soundtrack utama persidangan.”

Sidang perkara dugaan pemerasan dan TPPU yang menjerat Nikita Mirzani di PN Jakarta Selatan, Kamis (31/7/2025), berubah dari forum hukum menjadi panggung teater. Di tengah suasana formal, Nikita mendadak naik pitam. Ia meminta Majelis Hakim memutar audio dari flashdisk yang ia yakini berisi percakapan jaksa dengan pelapor, Reza Gladys.

Di balik mikrofon dan palu sidang, Kamis siang itu, Nikita Mirzani tampil bukan sekadar terdakwa. Ia menjelma menjadi sutradara dadakan, menggiring drama hukum ke titik klimaks: permintaan memutar audio dari flashdisk yang katanya bisa “mengubah segalanya.”

Tertarik baca berita lainnya, kunjungi kami di googlenews

Tapi teater hukum tak selalu memberi ruang improvisasi. Ketika hakim mengetuk palu terakhir dan sidang dianggap usai, permintaan Nikita pun dianggap terlambat—seperti penyair yang membacakan baitnya setelah tepuk tangan penonton reda.

Namun Nikita tak mau jadi epilog. Ia ingin jadi babak tambahan.

Dengan gestur tegas, ia menunjuk hakim, menolak mengenakan rompi tahanan, duduk di kursi penasihat hukum, dan mengancam akan memutar audio dari ponselnya sendiri. Drama pun meletus. Petugas merangsek maju, rompi di tangan, tapi Nikita menangkis—bukan dengan kekerasan, melainkan dengan tekad dan tensi.

Baca Juga: “Tom & Ana: Cinta di Vermont, Helikopter, dan Es Krim yang Mengguncang Hollywood”

Sidang berubah menjadi opera mini dengan flashdisk sebagai tokoh utama, dan rompi tahanan sebagai simbol konflik antara prosedur dan insting.

Baca Juga: KERDUS: Ketika Akhlak Tergilas Hashtag dan Syariat Dijadikan Wardrobe VS Mantan Aktris JAV

Dalam sistem hukum yang kadang lupa bedanya antara substansi dan simbol, flashdisk bisa lebih berharga dari pasal. Satu bukti yang tak sempat diputar, bisa jadi monumen perlawanan.

Apakah sistem memang tak memberi ruang spontanitas? Atau justru menolak kejujuran yang datang tidak sesuai prosedur?

Sidang ini bukan sekadar perkara hukum. Ini soal siapa yang punya hak untuk bicara, dan kapan suara itu dianggap sah. Nikita, di satu sisi, jadi personifikasi dari rakyat yang merasa sistem terlalu dingin untuk mendengar emosi.

https://lynk.id/warta21_/Q1b9xxp

Di negeri yang sidangnya bisa lebih dramatis dari sinetron prime time, Nikita bukan sekadar terdakwa—ia adalah karakter utama dalam opera hukum yang absurd. Flashdisk jadi senjata, rompi jadi simbol penolakan, dan ruang sidang jadi panggung pertarungan ego dan emosi.

Apakah ini bentuk keberanian? Atau sekadar episode dari serial panjang kriminalisasi selebritas?

“Sidang boleh bubar, tapi suara belum selesai. Kalau hukum adalah panggung, maka kebenaran tak selalu datang sesuai jadwal.”

Artikulli paraprakLibur Nasional 18 Agustus: Hadiah Kemerdekaan atau Tantangan Produktivitas?
Artikulli tjetërTom Holland Tampil dengan Kostum Baru Spider-Man: Brand New Day—Tribut Elegan untuk Masa Lalu dan Awal yang Baru

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini