“Ketika saksi bukan sekadar saksi: penyidik KPK duduk di kursi yang menguji batas etika dan hukum.”
Jakarta 25 Juni 2025, kembali menjadi panggung absurditas hukum yang tak pernah kehabisan babak. Kali ini, sorotan tertuju pada ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (25/7/2025), saat hakim anggota Sunoto membacakan pertimbangan yang menggelitik nalar dan menggugah debat etika: penyidik KPK boleh menjadi saksi dalam perkara yang mereka tangani sendiri.
Dengan mengutip Pasal 168 juncto Pasal 172 Ayat (1) KUHAP, Sunoto menegaskan bahwa penyidik tidak termasuk dalam daftar saksi yang keterangannya dilarang. “Dalam praktik peradilan pidana telah lazim dan diterima bahwa penyidik dapat memberikan kesaksian tentang proses penyidikan yang dilakukan,” ucapnya, seolah membuka pintu bagi tafsir yang lebih lentur terhadap batas-batas peran institusional.
Tertarik baca berita lainnya, kunjungi kami di googlenews
Pernyataan ini muncul dalam sidang kasus dugaan suap dan perintangan perkara Harun Masiku yang menjerat Sekjen PDI-P, Hasto Kristiyanto. Jaksa KPK dan pengacara Hasto telah bertarung sengit selama berbulan-bulan, saling lempar pleidoi, replik, dan duplik, dalam drama hukum yang lebih mirip opera politik.
Hasto dituduh memerintahkan Harun melalui perantara untuk merendam handphone, sebuah tindakan yang oleh jaksa disebut sebagai upaya menghilangkan barang bukti. Ia juga diduga menyuruh staf pribadinya, Kusnadi, melakukan hal serupa menjelang pemeriksaan di KPK pada 10 Juni 2024. Dari total Rp 1,5 miliar yang dibicarakan, jaksa meyakini Hasto telah menalangi Rp 400 juta sebagai bagian dari skema suap.
Baca Juga: Vonis Mengejutkan! Tom Lembong Dijatuhi 4,5 Tahun Penjara dalam Kasus Korupsi Impor Gula
Namun, di tengah pertarungan narasi, muncul pertanyaan yang lebih filosofis: apakah penyidik yang menjadi saksi bisa tetap objektif? Apakah praktik ini membuka celah bagi konflik kepentingan yang halus namun berbahaya?
Di negeri yang gemar menyulap pasal menjadi panggung, penyidik kini tak hanya memburu kebenaran, tapi juga bersaksi atasnya. Hasto duduk di kursi terdakwa, sementara penyidik berdiri di mimbar saksi—dua kutub yang seharusnya tak bersentuhan, kini saling menatap dalam ruang yang sama.
https://lynk.id/warta21_/G8l5KwK
Dan publik? Mereka menyimak, bertanya, dan mungkin tertawa getir:
“Apakah hukum kita sedang menari di atas garis tipis antara prosedur dan absurditas?”
Karena di “Ruang Absurditas”, logika bukan untuk dipatuhi… tapi untuk diuji.







