Warta21.com – Badannya tak cukup tinggi. Ia terus berdandan dengan bedak yang dibubuhkan di pipi. Sesekali, ia mengecek notifikasi handphonenya apakah ada pria hidung belang yang menghubungi.
Firda (bukan nama sebenarnya) adalah salah satu dari ratusan perempuan yang menjual dirinya untuk bertahan hidup. Perempuan 43 tahun ini pertama kali menjadi PSK pada umur 23 pada tahun 2003. “Ya namanya bertahan hidup, Mas. Di Surabaya kalo gengsi mati kelaparan kita,” ujar Firda saat ditemui beritajatim.com di sebuah cafe hotel di Surabaya Pusat.
Jejak prostitusi di Surabaya seakan tak pernah mati. Pada tahun 2018, Walikota Surabaya, Tri Rismaharini menutup resmi Dolly tepatnya 18 Juni 2018. Tempat yang sudah berdiri sejak tahun 1967 itu dialihfungsikan menjadi tempat pelatihan agar eks Dolly bisa bekerja ‘halal’.
Firda adalah salah satu eks Dolly. Pertama kali ia datang dari desanya di Jember pada tahun 2001. Ia sempat bekerja sebagai buruh pabrik selama dua tahun di Margomulyo. Dengan sistem kerja yang dirasa melelahkan saat itu, Firda akhirnya memutuskan mencari kerja lain. Ia lantas diajak temannya untuk bekerja di Dolly dengan akad hanya menemani pria dewasa minum-minuman keras.
“Awalnya saya ya berani saja. Kebetulan di desa itu kan banyak juga pria-pria mabuk itu ada ceweknya saya ya biasa lihat pria mabuk,” ujar Firda sembari menarik lebih tinggi celana hotpants biru yang ia pakai.
Tak disangka, Firda ternyata dijebak. Bukannya menemani pria-pria mabuk. Firda dimasukan ke dalam kamar di salah satu wisma Dolly. Ia ingat kali pertama pria yang sudah teler dan telanjang itu mengatakan perintah ke Firda. “Mbak ‘karaoke’ ya,” ujar pria itu.
Firda hanya celingak celinguk. Ia melihat sekitar dan tidak mendapati adanya sound system seperti yang ia pahami jika karaoke butuh pengeras suara. Pria dewasa itu kemudian mengucapkan hal yang sama. Hingga akhirnya, kepala Firda ditarik ke arah tubuhnya.
“Saya gak ngerti istilah ‘karaoke’ itu apa ya saya bingung. Tiba-tiba kepala saya ditarik terus dipaksa,” jelas wanita bertato kupu-kupu.
Firda sempat marah kepada kawannya. Ia merasa dijebak. Namun amarahnya hilang ketika Firda menerima uang sebesar Rp 1 Juta. Persepsinya berubah. Ia semakin semangat untuk melacurkan diri. Baginya, ini pekerjaan mudah yang bisa ia lakukan untuk menghidupi keluarganya.
Seiring berkembangnya waktu, tak terasa Firda berusia 42 tahun. Anak perawannya di desa sudah menikah. Firda selalu menyimpan rapat pekerjaannya di Surabaya. Keluarganya di Jember hanya mengetahui jika Firda bekerja sebagai akuntan keuangan di sebuah kantor swasta.
Wawancara sempat terhenti ketika ada notifikasi di handphone Firda. Ternyata, sedari tadi Firda sedang bernegosiasi lewat aplikasi hijau dengan pria hidung belang yang ingin mencoba jasanya. “Sebentar ya mas, ada pelanggan. Lumayan masih sore udah dapat pelanggan,” tuturnya lembut.
Saya menunggu hampir 45 Menit di kafe hotel itu. Saya mengamati, setidaknya banyak wanita yang keluar masuk hotel dengan dandanan serupa Firda.
Tak lama perempuan itu turun lift, ia seperti menjemput para pria untuk naik bersamanya.
Setelah Firda turun dan menghampiri saya, ia kembali bercerita. Saya sempat menanyakan terkait banyaknya perempuan yang naik turun di lift hotel yang jelas terlihat dari kafe. Dengan senyum, Firda mengatakan jika para perempuan itu memang bekerja menjajakan diri lewat aplikasi. Sama sepertinya.
“Masnya sok polos. Itu kan sama kayak saya mas. Ini kalau gak ada mas (wawancara) saya ya nunggu di kamar,” ucap Firda.
Jujur saja, saya tak pernah memiliki aplikasi hijau yang sedari tadi dimaksud. Saya pernah melihat teman-teman saya menggunakan hanya untuk sekedar menggoda.
Wawancara berlanjut, Firda kembali bercerita jika prostitusi di Surabaya kian berkembang. Jika dahulu di prostitusi Dolly diterapkan aturan yang ketat terkait kesehatan pekerja dan usia para PSK, sekarang prostitusi lewat media online sangat bebas. Hanya dengan harga Rp 250 Ribu, pria hidung belang sudah bisa menikmati tubuh anak-anak dibawah umur.
“Sekarang ngeri mas. Anak-anak sekolah itu sudah berani Open BO. Dan ada hotel yang pasti sudah tahu jika anak-anak itu jual diri tapi masih dibiarkan. Ada germonya kok. Dulu cita-cita menutup Dolly kan agar tidak ada prostitusi dengan alasan Akhlak. Sekarang lihat, apakah akhlak semakin baik ? Jaman Dolly semua diatur mas termasuk kesehatan kita,” tutur Firda dengan raut wajah kesal.
Menurut Firda, Surabaya tidak akan lepas dari bisnis prostitusi. Lantaran, permintaan selalu ada. Bahkan, hotel-hotel kelas melati biasanya memfasilitasi dengan memperbolehkan bayar kamar belakangan. Ditambah era media sosial, bisnis prostitusi di Surabaya kian subur dan menjamur.
Tepat pukul 14.54, ada suara Adzan dari handphone Firda. Saya kaget, ekspresi kaget saya ditangkap oleh Firda. “Balon kayak saya ya ingat Tuhan mas. Saya mau Sholat dulu ya mas di kamar. Masnya bisa tunggu sini. Atau kalau mau Sholat ada mushola di dekat toilet hotel,” kata Firda sambil berlalu.
Sumber : beritajatim.com
Baca Juga : Pemerintah Jepang Resmi Naikkan Batas Usia Legal Berhubungan Seks dari 13 Tahun Menjadi 16 Tahun