Sebuah renungan — “Akankah kita mengacaukan masa bahagia mereka dengan budaya yang salah kaprah?”

Kampung Merdeka, 17 Agustus 2025 — Di bawah tenda biru tua yang sudah mulai robek di sudutnya, puluhan anak-anak bersaing memperebutkan hadiah mi instan dan sabun mandi. Panas menyengat, keringat mengucur, tapi semangat berkibar—begitu katanya. Di belakang panggung, speaker aktif memekakkan telinga dengan lagu dangdut koplo remix lirik “Rindu siapa???… Bojone Konco” sambil anak usia tujuh tahun berjoget ala goyang patah pinggang.

Selamat datang di pesta kemerdekaan versi lokal—di mana semangat nasionalisme bertabrakan dengan kelucuan yang nyaris tragis.

Tertarik baca berita lainnya, kunjungi kami di googlenews

Joget sebagai Ritual Komunal: Tapi untuk Siapa?

Setiap tanggal 17 Agustus, perkampungan perkotaan dan di desa-desa berubah menjadi panggung absurditas yang kita sebut “lomba ceria.” Mulai dari balap karung, makan kerupuk, hingga kompetisi joget anak-anak—semuanya dikemas dalam sukacita kolektif. Tapi satu pertanyaan gentayangan di antara tenda dan terpal: kenapa lagu joget anak-anak harus “Selimut Tetangga” atau “Cinta Satu Malam”?

Lirik seperti “rindu siapa… (Bojone Konco)” dan “aku dipeluk abang-abang” terngiang dari bibir mungil yang masih belum paham cara mengeja ‘konsekuensi’. Anak-anak berjoget, orang dewasa tertawa, dan smartphone merekam semuanya—siap viral, siap dilike.

Baca Juga: Selamat Hari Anak Nasional, Apa Yang Di Gengam Anak Bangsa Adalah Panduan Dari Ibu

Anak-anak di Persimpangan Budaya

Ini bukan sekadar soal hiburan. Lomba joget anak-anak dengan musik dewasa mengungkap kedangkalan kita dalam memisahkan dunia anak dari arus infotainment dewasa. Kita berkata “anak-anak harus bahagia,” tapi definisi bahagia kita sudah lama disusupi oleh algoritma televisi dan keseruan TikTok.

Tidak ada kurasi, tidak ada filter. Hanya goyang, tawa, dan tepuk tangan—seolah tak ada satu pun yang merasa ini absurd.

Penyelenggara dan Penonton: Sama-sama Kompromis

Para panitia tak benar-benar salah. Mereka hanya mengulang tradisi yang tak pernah ditinjau ulang. “Lagu ini yang bisa bikin ramai,” kata sang Ketua Panitia dengan bangga. Tapi apakah ramai selalu berarti relevan?

Ketika anak-anak berjingkat menirukan goyangan dewasa, penonton bertepuk tangan bukan karena kualitas, tapi karena keterkejutan. Ini semacam “shock culture” yang kita rayakan setiap tahun.

https://lynk.id/warta21_/Q1b9xxp

Hadiah dan Harapan yang Tak Seimbang

Pemenang lomba joget membawa pulang satu bungkus mi dan satu sabun batang. Tapi yang mereka dapatkan lebih dari itu: validasi publik yang tak mereka pahami. Video mereka tersebar ke grup WhatsApp, jadi bahan lucu-lucuan. Tapi tak ada yang menanyakan bagaimana mereka menafsirkan lirik lagu yang mereka jogetkan.

Epilog Dramatis: Indonesia Merdeka, Tapi Anak-anaknya Terjebak Hiburan Dewasa

Di balik pekik “MERDEKAAA!” dan wajah-wajah anak yang penuh bedak dan lipstik murah, ada narasi tentang betapa kebebasan kadang berarti tak ada batas sama sekali. Bendera dikibarkan, tapi nilai-nilai yang harusnya dikawal justru dibiarkan terbang kemana-mana.

Lomba joget anak-anak ini bukan dosa massal. Tapi ia cerminan. Tentang kita yang terlalu sibuk tertawa, lupa mempertanyakan. Tentang generasi yang tumbuh dengan ritme yang bukan miliknya, tapi disuruh menari seakan itu warisan budaya.

Jadi tahun depan, kalau panitia lomba mau nyetel lagu, sempatkan bertanya: _“Apakah ini untuk tertawa, atau untuk tumbuh?”

Artikulli paraprakDenada dan Simfoni Kupu-Kupu: Ketika Transformasi Menjelma Gaun
Artikulli tjetërTurun Anwar!—Rakyat Malaysia Menuntut Reformasi yang Tak Pernah Datang

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini