Turun Anwar!—Ketika Janji Reformasi Jadi Bising Jalanan
Dataran Merdeka kembali jadi panggung utama. Tapi bukan untuk perayaan kemerdekaan, melainkan untuk kemarahan yang sudah lama ditabung. Sabtu sore, ribuan warga Malaysia berbaris dalam gelombang hitam. Poster-poster menuntut mundurnya Perdana Menteri Anwar Ibrahim, sosok yang dulu dielu-elukan sebagai harapan reformasi, kini jadi simbol kekecewaan nasional.
Mereka datang bukan sekadar untuk berteriak, tapi untuk mengingatkan negara bahwa janji adalah utang. Bahwa reformasi bukan sekadar retorika manis yang dikemas saat kampanye, lalu dikubur dalam rapat kabinet dan lobi politik.
Baca Juga: Penyidik Jadi Saksi, Hasto Terjerat: Tipikor Menari di Atas Pasal 168 KUHAP”
Sang Reformis yang Ditinggal Harapan
Anwar Ibrahim pernah menjadi narasi perubahan itu sendiri: mantan tahanan politik, korban rezim, dan pemimpin yang menawarkan wajah baru demokrasi Malaysia. Tapi hari ini, wajah itu dilihat penuh keraguan. Biaya hidup meroket, hukum masih menyisakan ketimpangan, dan nepotisme tampil anggun dalam seragam birokrasi.
Alih-alih menjawab tuntutan, pemerintah justru menyuguhkan subsidi darurat dan bonus musiman—seolah keadilan bisa dibeli dengan kupon bahan bakar. Di tengah orasi demonstran, suara Mahathir Mohamad muncul seperti hantu masa lalu: “Dia janji banyak. Sekarang rakyat cuma dapat rasa lapar. Apa bedanya rezim hari ini dengan yang dulu saya kritik?”
Tertarik baca berita lainnya, kunjungi kami di googlenews
Demonstrasi sebagai Ritual Demokrasi yang Terluka
Demo ini bukan sekadar parade keluhan, tapi ritual pengingat bahwa demokrasi tak boleh diam saat wakil rakyat lupa siapa yang mereka wakili. Di antara suara klakson dan yel-yel, ada jeritan batin rakyat yang lelah menanti reformasi yang tak pernah datang.
Ironi pun menyelinap di sela-sela barisan massa: beberapa pejabat yang dulu mengibarkan panji anti korupsi kini duduk manis dalam lingkaran kekuasaan. Janji berubah jadi jargon. Harapan berubah jadi demonstrasi.
https://lynk.id/warta21_/Q1b9xxp
Ketika Pemerintah Dermawan Karena Takut
Saat rakyat turun ke jalan, pemerintah mendadak murah hati. Tapi kita tahu, kemurahan hati yang lahir dari rasa takut bukanlah cinta pada rakyat—itu hanya insting bertahan. Bukan reformasi, melainkan kamuflase.
Turun Anwar! bukan sekadar tuntutan politik, tapi metafora tentang betapa jauhnya jarak antara panggung kampanye dan realitas rakyat. Di Malaysia hari ini, janji reformasi tak mati—dia hanya tersesat di jalan menuju kekuasaan.







