Ketika Sepak Bola Nasional Gagal Menjaga Martabat Profesionalisme
Musim baru Super League 2025/2026 baru akan bergulir, tapi aroma lama masih menyengat: tunggakan gaji pemain. Wakil Presiden Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia (APPI), Achmad Jufriyanto, mengungkapkan bahwa empat klub Liga 1 belum melunasi hak 15 pemain, dengan total tunggakan mencapai Rp 4,3 miliar.
Profesionalisme yang Sekadar Label
Liga 1 telah direbranding menjadi Super League, dengan janji kualitas kompetisi yang lebih tinggi. Tapi bagaimana bisa bicara profesionalisme jika hak dasar pemain—gaji—masih diabaikan?
“Tiga klub masih dalam proses korespondensi, satu sudah masuk NDRC. Tapi totalnya tetap: Rp 4,3 miliar belum dibayar.”
— Achmad Jufriyanto, Wakil Presiden APPI.
Tertarik baca berita lainnya, kunjungi kami di googlenews
Ironisnya, identitas klub yang menunggak belum dibuka ke publik. Transparansi masih menjadi barang mahal di sepak bola kita.
Harapan atau Formalitas?
National Dispute Resolution Chamber (NDRC) digadang sebagai solusi sengketa antara pemain dan klub. Tapi efektivitasnya masih dipertanyakan. Banyak putusan belum dijalankan, dan proses arbitrase sering kali berlarut-larut.
Baca Juga: Tumbang Tanpa Perlawanan: Timnas Putri Indonesia Dibekuk Thailand 0-7 di Piala AFF 2025
“Hampir semua sengketa yang diputus NDRC adalah soal tunggakan gaji. Tapi pelaksanaan putusannya masih jadi PR besar.”
— Togi Pangaribuan, Ketua NDRC Indonesia
Di Balik Sorak Sorai Stadion
Pemain bukan sekadar entertainer. Mereka adalah pekerja profesional yang punya keluarga, tanggungan, dan masa depan. Ketika gaji tak dibayar, bukan hanya karier yang terganggu—tapi juga martabat.
“Kami diminta tampil maksimal, tapi hak kami tak dihargai. Ini bukan sepak bola profesional, ini eksploitasi.”
— (anonim), salah satu pemain terdampak.
https://lynk.id/warta21_/Q1b9xxp
Sepak Bola Tanpa Etika Adalah Hiburan yang Kosong
Sepak bola Indonesia sedang tumbuh. Tapi pertumbuhan tanpa fondasi etika hanya akan melahirkan kompetisi yang rapuh. Jika klub tak bisa menjamin hak pemain, maka mereka tak layak disebut profesional.