“Dunia Roblox yang tampak ceria, namun menyimpan konten yang bisa memicu imitasi kekerasan pada anak-anak

Tertarik baca berita lainnya, kunjungi kami di googlenews

Ketika Dunia Virtual Menjadi Ladang Imitasi

Komisioner KPAI Kawiyan mengeluarkan pernyataan tegas: anak-anak harus dibatasi dalam bermain gim, terutama yang mengandung kekerasan. Roblox, sebagai salah satu platform gim terbesar, kembali menjadi sorotan.

“Game jenis apa pun, harus dibatasi pada anak-anak, bukan hanya gim Roblox. Apalagi gim yang isinya adegan-adegan kekerasan karena kecenderungan anak adalah meniru apa yang ia lihat, tonton, dan saksikan,” ujar Kawiyan, Rabu (6/8).

Pernyataan ini bukan sekadar alarm moral, tapi refleksi dari realitas digital yang makin tak terbendung. Di balik avatar lucu dan dunia penuh warna, tersimpan potensi imitasi yang bisa merusak nalar anak-anak yang belum matang.

Baca Juga: Dendang Bendera dan Goyang Tak Berbatas—Potret Lomba 17an yang Serba Salah Kaprah

Regulasi Sudah Ada, Tapi Siapa yang Menjaga Gerbangnya?

Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi) sebenarnya sudah menerbitkan Permen No. 2 Tahun 2024 yang mengatur klasifikasi gim berdasarkan usia. Berikut klasifikasinya:

  • 👶 3 tahun ke atas
  • 🧒 7 tahun ke atas
  • 👦 13 tahun ke atas
  • 🧑 15 tahun ke atas
  • 🧔 18 tahun ke atas

Namun, regulasi tanpa pengawasan hanya akan menjadi dekorasi hukum. Kawiyan menegaskan bahwa industri gim wajib melaksanakan klasifikasi ini secara ketat, demi melindungi pengguna yang paling rentan: anak-anak.

https://lynk.id/warta21_/Q1b9xxp

Ketika Dunia Anak Dijajah Pixel Kekerasan

Ironisnya, Roblox yang awalnya dirancang sebagai ruang eksplorasi dan kreativitas, kini menjadi medan tempur virtual. Beberapa gim bahkan menampilkan adegan tembak-menembak, pembunuhan, hingga simulasi kekerasan yang absurd—semua dikemas dalam grafis kartun yang “ramah anak.”

Apakah ini bentuk kebebasan berekspresi, atau justru kebebasan merusak?

Imajinasi Anak Bukan Ladang Eksperimen

Anak-anak bukan sekadar pengguna digital. Mereka adalah peniru ulung, penyerap emosi, dan pembentuk masa depan. Jika dunia gim tak dibatasi, maka kita sedang membiarkan algoritma menggantikan nilai-nilai kemanusiaan.

Mungkin sudah waktunya kita bertanya:
Apakah kita sedang membiarkan anak-anak bermain, atau diam-diam membiarkan mereka belajar kekerasan?

Artikulli paraprakEkonomi Indonesia Tumbuh 5,12% di Kuartal II-2025, Sektor Pertanian Jadi Penopang Utama
Artikulli tjetërDari Magetan ke Mabes: Komjen Dedi Prasetyo Naik Tahta Jadi Wakapolri

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini