Renungan Jum’at, Red 1 – Asw
Juli 2025 — Di tengah gelombang hijrah digital yang membanjiri linimasa, muncul satu fenomena yang tak bisa diabaikan: KERDUS — Kerudung Dusta. Sebuah istilah satir untuk mereka yang menjadikan simbol agama sebagai kostum, bukan komitmen. Mereka tampil religius di depan kamera, tapi kehilangan akhlak di balik layar.
Hijrah Superfisial: Dari Spirit ke Sponsorship
Fenomena hijrah kini tak lagi soal transformasi batin, tapi soal branding. Ketika beberapa dekade lalu sangat marak istilah satire zine Islam KTP yang ditujukan pada orang-orang yang menuliskan status keyakinan-nya di KTP adalah Islam, namun untuk urusan ritualnya belum tentu dilaksanakan. Namun beda dengan fenomena akhir akhir ini, Hijab yang bukan lagi penanda kesadaran spiritual, melainkan wardrobe endorsement.
Baca Juga: Fatwa MUI Haramkan Sound Horeg dan Goyang Pargoy: Musik Jalanan yang Mengguncang Moral Bangsa
Akun TikTok dan YouTube dipenuhi konten “hijab tutorial” yang berujung pada joget sensual bahkan tidak jarang kita melihat mereka joget a’la Minaj yaitu Butt Shake atau di beberapa daerah di Indonesia disebut Pargoy dan terkadang kita temui mereka melakukan di tengah kerumunan maupun unggahan media sosial. Yang terbaru banyak yang ikut ikutan trend goyang ringan namun mimik menggoda dengan latar lagu viral seperti Dame Un Grrr — lagu yang secara harfiah berarti “beri aku gairah”.
Gerakan tangan mencakar, ekspresi menggoda, dan caption manja: semua dibungkus dalam balutan hijab.
“Islam yang meninggikan derajat wanita, kini direndahkan oleh algoritma yang menuntut klik dan likes.”
Baca Juga: Bentrok Ormas di Pemalang: Tafsir yang Membentur Kepala, Bukan Hati
Dame Un Grrr: Joget Gairah dalam Balutan Syariah
Lagu Dame Un Grrr ciptaan Fantomel dan Kate Linn, viral di TikTok karena beat-nya yang menghentak dan liriknya yang menggoda. “Dame un grrr” dalam bahasa Spanyol berarti “beri aku geraman”—simbol hasrat dan rayuan. Ironisnya, lagu ini justru dipakai oleh sebagian hijabers untuk menari dengan gaya yang bertentangan dengan nilai kesopanan yang mereka klaim anut.
“Hijab bukan penghalang ekspresi,” kata mereka. Tapi ekspresi yang dipilih justru menodai makna hijab itu sendiri.
Dan yang paling miris adalah sebagian dari mereka menghalalkan perilaku tersebut dengan bersembunyi pada Hadist Rasulullah Muhammad SAW tentang cerita “Pelacur Yang Masuk Surga Karena Memberi Minum Anjing.” Namun tidak pernah dipahami dengan ilmu agama, atau mungkin tidak ada yang memberikan bimbingan pada mereka.
Tertarik baca berita lainnya, kunjungi kami di googlenews
Ketika Mualaf Justru Menjaga Marwah Islam
Di sisi lain, muncul sosok Kae Asakura—mantan bintang film dewasa asal Jepang yang kini dikenal sebagai Nuray Istiqbal. Ia memeluk Islam setelah perjalanan spiritual di Malaysia, dan kini menjalani hidup sebagai mualaf yang taat.
- Menjalani Ramadan pertamanya dengan penuh semangat.
- Belajar salat, puasa, dan bahasa Arab secara konsisten.
- Mendirikan Mushola di Rumah Keluarga
- Menolak menjadikan hijrahnya sebagai konten viral.
- Mengaku: “Aku tidak memilih Islam. Allah yang membimbingku.”
Dari dunia yang penuh glamor dan dosa, Kae justru menunjukkan bahwa hijrah sejati bukan soal penampilan, tapi soal perjuangan batin. Mungkin akan jauh lebih tepat jika Hadist Rasulullah yang disebutkan diatas ditujukan pada Kae Asakura
Baca Juga: Selamat Hari Anak Nasional, Apa Yang Di Gengam Anak Bangsa Adalah Panduan Dari Ibu
Ketika yang Paling Bersuara Justru Paling Kosong
Di tengah hiruk-pikuk hijrah yang dijadikan konten, dan syariat yang dijadikan wardrobe, kita lupa bahwa Islam bukan panggung… tapi perjalanan. Bukan soal siapa yang paling lantang bicara tentang dosa, tapi siapa yang paling diam-diam berjuang melawannya.
Dan ketika seorang mualaf seperti Kae Asakura—yang datang dari masa lalu yang kelam—justru lebih tulus dalam mencari cahaya, kita patut bertanya: “Apakah kita benar-benar mengenal Islam, atau hanya mengenakan Islam?”
https://lynk.id/warta21_/Q1b9xxp
Mereka berjubah keimanan, tapi sabuknya terbuat dari popularitas. Mereka bersumpah atas nama syariah, tapi jari-jarinya sibuk scroll endorse. Mereka bicara tentang akhlak, tapi lupa bahwa akhlak tak bisa diedit pakai filter. Mereka menari di atas ayat, lalu berkata: “Ini ekspresi.” Padahal yang mereka ekspresikan bukan iman… tapi impuls.
Dan di antara semua itu, ada satu sosok yang tak bicara banyak, tapi langkahnya pelan dan pasti: Kae Asakura, yang tak meminta panggung, tapi justru menjadi cermin. “Aku tidak memilih Islam. Allah yang membimbingku.”
“Dan di tengah keramaian yang menjual Islam sebagai gaya hidup, seorang mualaf yang dulu hidup dalam lumpur dosa justru berjalan pelan… menuju cahaya.”
# Article ini tidak ditujukan untuk memerolok siapapun, namun sebagai bahan muhasabah bersama, agar kita tidak menistakan diri kita, keluarga dan agama